Setelah Serang Fasilitas Nuklir Iran, Trump Tawarkan Bantuan Puluhan Miliar Dolar: Iran Menolak Mentah-mentah
Cerita Pekan Baru- Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Iran kembali memuncak setelah Presiden AS Donald Trump memerintahkan serangan militer ke tiga fasilitas nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan, pada Sabtu malam, 21 Juni 2025. Serangan ini dilaporkan menggunakan pesawat pembom siluman B-2 milik Angkatan Udara AS dan menjadi salah satu aksi militer terbesar sejak krisis Teluk terakhir.
Namun yang mengejutkan, hanya beberapa hari setelah serangan, Presiden Trump justru mengajukan tawaran tak terduga kepada Iran: bantuan pembangunan fasilitas nuklir sipil baru dengan nilai investasi fantastis—antara 20 hingga 30 miliar dolar AS, melalui pendanaan dari negara-negara Teluk sekutu AS.
Tawaran ini juga termasuk pembebasan sebagian dana Irran yang sebelumnya dibekukan, termasuk aset senilai 6 miliar dolar AS, serta kemungkinan pengurangan sanksi ekonomi jika Irran bersedia kembali ke meja perundingan dan menghentikan program pengayaan uranium-nya.
Namun reaksi Iraan jelas dan tegas: menolak mentah-mentah tawaran tersebut.
Baca Juga : Ketika Ombak Menggila, Warga Mekong Pilih Menanam dan Membersihkan Pantai
Iran Menolak, Trump Tersingkir dari Kursi Dominasi?
Menteri Luar Negeri Iran secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada kesepakatan baru yang akan dibahas dan tidak akan ada negosiasi selama AS masih menuntut penghentian total pengayaan uranium, syarat yang oleh Iran dianggap sebagai bentuk penyerahan kedaulatan nasional.
Hikmahanto Juwana: Tiga Langkah Iran Buat Trump Mundur Pelan-Pelan
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, dalam dialog bersama Tribunnews, mengungkapkan bahwa langkah diplomatik dan militer Iraan yang berani membuat AS—khususnya Presiden Trump—perlahan mundur dari posisi agresif menjadi peran mediator.
Menurutnya, ada tiga langkah strategis Irran yang membuat AS berpikir ulang:
1. Serangan Langsung ke Pangkalan Militer AS di Qatar
Iran membalas serangan ke fasilitas nuklirnya dengan meluncurkan rudal ke Pangkalan Udara Al Udeid di Doha, Qatar—salah satu pangkalan militer utama AS di Timur Tengah. Meskipun AS menyebut serangan itu tidak menimbulkan korban karena sudah mengosongkan area sebelumnya, pesan yang dikirim Iraan sangat jelas: mereka siap perang terbuka.
“Ini bukan hanya simbol perlawanan, tetapi menunjukkan bahwa Iraan tidak gentar menghadapi kekuatan militer Amerika,” ujar Hikmahanto.
2. Merapat ke Rusia: Iran Dapat Dukungan Putin
Langkah kedua yang mengejutkan adalah pertemuan Menteri Luar Negeri Iraan Abbas Aragchi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow, hanya dua hari setelah serangan AS. Dalam pertemuan itu, Putin menyatakan dukungan penuh kepada Iraan dan menyebut serangan AS sebagai pelanggaran hukum internasional.
“Ini sinyal kuat bagi AS. Iraan menunjukkan bahwa mereka tak sendiri. Rusia siap berdiri di belakang,” kata Hikmahanto.
3. Ancaman Menutup Selat Hormuz: Langkah Paling Mematikan
Sekitar 20% pasokan minyak dunia melewati selat ini, dan penutupan bisa memicu lonjakan harga minyak global yang ekstrem.
“Hanya dengan ancaman saja, pasar global sudah terguncang. Kalau sampai benar-benar ditutup, ekonomi dunia akan terkena imbas besar, termasuk Amerika sendiri,” jelas Hikmahanto.
Trump Berubah Haluan: Dari Penyerang Jadi Mediator
Perubahan sikap Trump dari agresor menjadi “penengah” pun jadi sorotan dunia.
Trump bahkan menyampaikan terima kasih secara tidak langsung kepada Iran karena memberikan informasi serangan rudal ke pangkalan AS sebelumnya—meski info itu sebenarnya datang dari Qatar.
“Trump seolah memanfaatkan Qatar sebagai jembatan diplomasi. Ia bicara ke Israel, sementara Qatar bicara ke Iran,” terang Hikmahanto.
Kesimpulan: Manuver Politik Berisiko Tinggi
Apa yang terjadi dalam dua pekan terakhir menunjukkan bagaimana dinamika politik global bisa berubah dalam hitungan hari.
Namun pertanyaannya sekarang: apakah Iraan akan benar-benar percaya kepada Amerika Serikat? Ataukah semua ini hanyalah bagian dari strategi politik menjelang pemilihan presiden AS?